ARTIKEL

Posted in | 4 Comments

ANDA INGIN TAHU TINJAUAN KEPEMIMPINAN YANG BENAR? ATAU APAKAH KEPALA SEKOLAH KITA ITU MASUK DALAM KLASIFIKASI PEMIMPIN? INI SEDIKIT REFERENSI AGAR TERHINDAR DARI PRASANGKA BURUK
KEPALA SEKOLAH; PEMIMPINKAH?
Oleh : SUKIR, S.Pd, M.Pd
Guru SMP Negeri 2 Bringin Ngawi


“Sakderengipun nyuwun lumunturing sih pangaksama dumateng para pangarsa pawiyatan wonten pundi kemawon”

Pengantar

Berangkat dari sebuah hipotesa bahwa 90% guru pernah ngarasani (membicarakan) keburukan kepala sekolah dan 10% saja guru yang membicarakan kebaikan seorang kepala sekolah itulah maka tulisan ini kami sampaikan. Tujuan utama tulisan ini adalah membarikan wawasan mengenai kemimpinan jika ditinjau dari sisi religius yang terlepas apakah jika dirasakan nylekit atau tidak. Tulisan ini dimaksudkan agar kita tidak selalu berprasangka buruk pada kepala sekolah di manapun berada. Sebab, dalam sebuah guyon pada media Online “Okezone” pernah dimuat bahwa dalam koran nasional diturunkan (dengan perubahan) headline yang berbunyi “50% Pejabat Negeri Ini Korupsi”. Paginya, para penegak hukum marah dan meminta redaksi merubah tulisan tersebut agar tidak menjadi fitnah maka esok hari diubahlah headline tersebut menjadi “50% Pejabat Negeri Ini Tidak Korupsi”. Nah….adakah perbedaan makna dari headline tersebut?. Di sinilah maksud tulisan ini dipaparkan agar tidak hanya berakhir dengan prasangka buruk ketika kita berhadapan dengan siapapun. Selain itu, dengan tinjauan secara religius ini, tentunya bisa mengingatkan kita bahwa sebenarnya ada aturan yang benar mengenai kepemimpinan itu dalam Islam.

Pemimpin itu Amanah
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Janganlah terlalu jauh membicarakan pemimpin dalam arti penguasa negara, penguasa dalam organisasi, penguasa dalam perusahaan, menguasa dalam sekolah, penguasa dalam RT, kita sendiri adalah pemimpin. Kita adalah pemimpin bagi diri sendiri, pemimpin bagi istri maupun pemimpin bagi anak-anak kita. Memang, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh instansi atau lembaga manapun akan tetapi, kita tetap akan dimintai pertanggungjawab oleh Allah Swt. Sejauhmana kita memanaj diri sendiri, istri maupun anak semua tidak akan terlepas dari pertanggungjawaban pada Allah Swt. Ini adalah pasti. Lalu bagaimana kalau kita menjadi pemimpin suatu lembaga atau instansi? Wah…. jangan ditanya lagi, pengadilan Allah takkan pernah bisa direkayasa. Kalau pada atasan, kita bisa merekayasa kwitansi, merekayasa laporan keuangan, maka dihadapan Allah Swt. sama sekali tidak bisa dan tidak mengenal rekayasa.
Amanah adalah tanggungjawab, oleh karenanya tidak berlebihan kiranya jika para da’i senantiasa menjelaskan bagaimana penghuni neraka ketika Rasulullah mengintip neraka yaitu para wanita dan orang-orang yang tidak bisa menjalankan amanah. Sementara penghuni surga adalah orang-orang miskin dan pemimpin yang adil yakni miskin sehingga memang tidak ada yang harus dipertanggungjawabkan dan para pemimpin yang dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinannya karena sikap jujur dan adilnya ketika memegang amanah. Dan disinilah makna amanah yang sebenarnya yakni mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada siapa yang telah memberi amanah yakni kepada atasan kita maupun secara individu nanti ketika kita menghadap Allah Swt.

Pemimpinkah kepala sekolah itu?

Suatu pertanyaan yang ringan namun tidak lebih dari suatu masalah yang dapat menimbulkan prasangka buruk jika tidak cermat menjawabnya dan jika hanya melihat sisi kelemaham manusia sebagai tempat salah dan lupa. Dan dalam tulisan ini memang sengaja tidak akan memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Tulisan ini hanya ingin menggiring akal nalar kita mencari referensi dari kaidah yang diyakini kebenarannya. Selain itu, memang tidak ada kewenangan pada diri seseorang untuk menilai apakah si “A” itu pemimpin atau tidak. Dan melalui tulisan ini setidaknya ada gambaran (yang tidak harus digunakan sebagai instrumen) apakah orang yang dihadapan kita itu pemimpin yang benar atau pemimpin yang dholim.
Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat. (H.R. Hukhari dan Muslim). Senada dengan hadits ini, Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abdur Rahman Ibnu Samurah ra: Wahai Abdur Rahman, janganlah engkau meminta untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau menjadi pemimpin karena permintaanmu sendiri, tanggung jawabnmu akan besar sekali. Dan jika engkau diangkat tanpa permintaanmu sendiri engkau akan ditolong orang dalam tugasmu. (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan dua hadis tersebut jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam adalah orang yang tidak pernah meminta untuk diangkat menjadi pemimpin dan juga tidak pernah berharap kepada seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin. Oleh karenanya jika seseorang pemimpin diangkat karena permintaan sendiri maka tanggungjawabnya akan menjadi besar sekali. Sedangkan jika pemimpin itu bukan karena permintaannya sendiri maka Rasulullah menyatakan bahwa orang (pemimpin) itu akan ditolong oleh orang lain dalam menjalankan tugas.
Dari uraian itu jelas bahwa kreteria pemimpin jika ditinjau dari cara pengangkatannya saja akan tampak tanggungjawabnya. Pemimpin yang benar, memang mereka diminta untuk menjadi pemimpin karena kemampuannya, kebijaksanaanya dan jiwa kepemimpinannya. Pemimpin yang dimikian akan memunculkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Artinya kebijakan yang ditetapkan akan menjadikan orang yang dipimpin menjadi tentram karena kemanfaatanya dalam kehidupan dunia dan kemanfaatanya di akhirat. Kebijakan yang diterapkan akan mampu menggiring orang yang dipimpin senantiasa dekat dengan Allah.
Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa Abu Dzar ra. pernah berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak hendak mengangkatku memegang suatau jabatan?. Rasulullah SAW menepuk bahuku dan berkata: Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah sedangkan jabatan ini amanah yang pada hari kiamat kelak harus dipertanggungjawabkan dengan risiko penuh penghinaan dan penyesalan, kecuali orang yang memenuhi syarat dan dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. (HR. Muslim). Dari keterangan-keterangan hadits di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengajukan diri untuk diangkat menjadi pemimpin
adalah sesuatu yang tercela apalagi tidak dibarengi dengan kelayakan diri menjadi pemimpin. Namun sebaliknya, apabila seseorang diangkat menjadi pemimpin karena dukungan atau permintaan umat, memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugas dengan amanah maka yang seperti ini tidaklah tercela.
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa jabatan adalah amanah yang tidak hanya harus dipertanggungjawabkan di dunia melainkan kelak harus dipertanggungjawabkan dengan risiko penuh penghinaan dan penyesalan. Masyaallah, begitu beratnya menjadi pemimpin sehingga sampai akhirat pun harus tetap bertanggungjawab. Namun demikian, penjelasan Rasulullah tersebut sangat berimbang, di satu sisi seorang pemimpin diberi warning berupa penghinaan dan penyesalan tapi di sisi yang lain Rasulullah membarikan pengecualian yakni orang yang memenuhi syarat dan dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik maka ia akan mendapatkan kebahagiaan karena dapat melaksanakan kepemimpinannya secara adil. Lalu, bagaimana dengan pertanyaan, pemimpinkah kepala sekolah? Maka jawabnya, bahwa kalimat tanya tersebut adalah kalimat tanya retoris artinya kalimat tanya yang tidak perlu mendapatkan jawaban karena penanya sebenarnya sudah tahu jawabannya.
Memang, kalau kita baca Al Quran, maka sejauh ini hanya ada salah seorang yang meminta untuk diangkat menjadi pejabat, yakni Nabi Yusuf as. Dalam Quran tersebut dijelaskan bahwa Nabi Yusuf as. yang meminta jabatan dan menonjolkan dirinya agar diberikan jabatan sebagai bendaharawan negara di Mesir. Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran: Jidikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir). Sesungguhnya aku pandai menjaga lagi berpengetahuan. (Q.S. Yusuf: 55). Dalam sejarah memang ada yang meminta jabatan tetapi itu adalah Nabi Yusuf as. Lalu, apakah dengan dasar tersebut kita mengasumsikan bahwa kita identik dengan Nabi Yusuf yang kemudian minta jabatan? Atau masihkah kita ngeyel kalau kita sama dengan Nabi Yusuf sehingga tetap menonjolkan diri untuk diangkat menjadi pejabat atau pemimpin. Astaghfirullah, mustahil itu ya Allah.

Konsepsi Pemimpin dalam Islam
Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan kepemimpinan, diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan. Artinya, seorang pemimpin tentu memiliki niat yang lurus yakni mencari ridha Allah. Jika ada pemimpin berorientasi pada nilai materi atau hanya mencari prestise maka itu bukan konsep kepemimpinan dalam Islam.
2. Tidak Meminta Jabatan
Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abdur Rahman Ibnu Samurah ra: Wahai Abdur Rahman, janganlah engkau meminta untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau menjadi pemimpin karena permintaanmu sendiri, tanggung jawabnmu akan besar sekali. Dan jika engkau diangkat tanpa permintaanmu sendiri engkau akan ditolong orang dalam tugasmu. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist ini (sebagaimana dijelaskan di atas) adalah konsep kepemimpinan yang sangat kuat, kalau seseorang berusaha miminta pada orang lain atau atasan untuk diangkat menjadi pemimpin tentu ada sesuatu tendensi yang lain selain amanah, sebab amanah itu diberikan bukan diminta.
3. Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin. Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus berpegang teguh pada ketentuan Allah sebagaimana dalam Al Quran. Kalau tidak bisa atau tidak mengetahui hukum Allah ya…..Allahuakbar sajalah…..
4. Memutuskan Perkara dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir). Masyaallah….. jika seorang pemimpin itu tidak adil maka digambarkan jika nanti hari kiamat akan datang dengan keadaan terikat. Jika di dunia ia menjadi pemimpin yang adil maka karena keadilannya itu ia akan selamat tetapi jika ia tidak adil maka ia akan dijerumuskan oleh kezhalimannya
5. Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Dari hadis tersebut tersirat bahwa pemimpin yang benar adalah pemimpin yang selalu dekat dengan rakyat baik saat dibutuhkan maupun tidak dibutuhkan. Tetapi sebaliknya pemimpin yang dzolim adalah pemimpin yang menutup diri untuk kepentingan orang yang dipimpin atau selalu mempersulit orang yang dipimpin atau bahkan pemimpin yang benci pada orang yang dipimpin jika lebih baik atau lebih berhasil dari dirinya. Ingatlah, doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya
6. Mampu memberi nasehat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”. Inilah mengapa pemimpin itu dipilih, sebab pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang mampu memberikan nasehat pada orang yang dipimpin bukan sebalinya mengajak untuk melakukan perbuatan dosa. Konsep, menasehati adalah kompetensi diri seorang pemimpin yang benar-benar universal karena prinsip ini pemimpin tidak hanya menunjukkan kekurangan orang yang dipimpin tetapi juga mampu menunjukkan alternatif pemecahan masalah, tidak sebaliknya hanya membuat masalah.
7. Tidak Menerima Hadiah
Seeorang yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari orang yang dipimpin.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani). Keprofesionalan seseorang akan tampak pada sikap prosedural atau sesuai aturan. Oleh karenanya pemimpin yang baik seharusnya tidak menerima hadiah tetapi memberikan hadiah atas prestasi orang yang dipimpinnya.
8. Memiliki Pembantu yang Amanah
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu). Dalam hal ini, seorang pemimpin tentu memiliki seorang pembantu atau kepercayaan yang amanah, mampu berbuat baik dan mengarahkan kepada hal yang baik. Pembantu dalam hal ini lebih pada mitra kerja yang bisa diajak kerjasama melaksanakan tugas demi kemaslahatan bersama, bukan justru berkolaborasi merekayasa sesuatu demi kepentingan dan keuntungan individu.
9. Dan masih banyak lagi konsepsi kepemimpinan yang lain.
Dari uraian tersebut kiranya bisa dijadikan suatu wacana kepemimpinan dalam Islam, meskipun dasar yang dipaparkan baru sebagaian kecil dari dasar kepemimpinan dalam Islam yang ada. Dengan beberapa dasar yang telah dipaparkan setidaknya juga bisa dijadikan pedoman dalam melangkah bagi para calon pemimpin. Namun yang perlu dipahami, Pertama, bahwa siapapun kita adalah pemimpin yang nantinya tetap akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt karena “tiada selembar daun pun yang jatuh kecuali sepengetahuan Allah” apalagi rekayasa yang kita lakukan. Kedua, kita adalah manusia kalaupun toh berbaju mungkin berupa; staf tata usaha, guru, pesuruh dan lain sebagainya, oleh karena ingatlah akan baju kita sendiri, artinya, maaf…..kita tidak ada kewenangan menilai apakah kepala sekolah kita itu tipe pemimpin atau tidak, atau tidak ada hak bagi kita menilai apakah kalau ia pemimpin itu termasuk adil atau dholim. Sebab penilai yang sebenarnya hanya Allah Swt, Dzat yang tak pernah mau direkayasa oleh akal busuk manusia. Ketiga, siapapun kita dan baju kita adalah manusia tempat salah dan dosa sehingga sikap yang bijak adalah senantiasa memohon ampunan kepada Dzat yang mampu memberi ampunan. Semoga bermanfaat*

Ngawi, September 2008
Penulis


Sukir, S.Pd, M.Pd.


4 komentar:

Dwi Budi Priyanta @ 26 April 2009 pukul 08.58

Mbah...Tambah Banner Cantik
Dapatkan Uang Saku Gratis
Ketik http://www.komisigratis.com/?id=budipriyanta

Betawie Van Java @ 31 Mei 2009 pukul 02.58

assalamualaikum Pak Sukir

Mohon maaf pak klo bisa saya mau bahan-bahan tentang kajian stilistika dan figurative language punaya gak pak? saya butuh sekali untuk bahan penulisan skripsi. kebetulan saya mengkaji lagunya We will not go down-nya michael heart yang bercerita tentang rakyat palestina..
kalau ada tolong di posting ke alamat email saya ya pak.syukron katsir. (eno_betawie@yahoo.co.id)

SUKIR, SPD, M.PD @ 3 Juni 2009 pukul 00.13

wa'alaikum salam

Sdr eno, insya allah tak carikan, makasih ya mampir di blog saya...12

taurus boy @ 7 Maret 2014 pukul 05.13

bagus pak artikelnya